Rabu, 12 September 2012

Paradikma Dan Asas Transaksi Syariah dalam PSAK


Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syaraiah didasarkan pada paradikma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan sebagai manah (kepercayaan Ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahtraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah). Subtansinya adalah bahwa setiap aktifitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiyah yang menempatkan menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salah aktifitas usaha. Dengan cara ini, akan terbentuk integritas yang akhirnya akan membentuk karakter tata klola yang baik (good gavernance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.

Asas transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1.    Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awum), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan saling beraliansi (tahaluf).
2.    Keadilan (‘adalah), berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan posisinya. Realisasi prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adanya unsur:
  • Riba atau bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl. Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, atau transaksi antar barang, termasuk pertukaran uang jenis secara tunai maupun tangguh dan tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnya/posisinya.
  • Maysir/judi atau sikap sepekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitas.
  • Gharar atau unsur ketidak jelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksaan akad, seperti: ketidakpastian penyertaan objek akad, tidak ada kepastian kriteria kualitas, kuantitas, harga objek akad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti ini perjanjian.
  • Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
3.    Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur  yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4.    Keseimbanagan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5.    Universalisme (syumuliyah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai dengan semangat keramah tamahan semesta (rahmatan lil alamin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar