Sabtu, 29 Desember 2012

Unsur-Unsur Dan Pengukuran Unsur Laporan Keuangan Syariah Dalam PSAK


A. Unsur-unsur laporan keuangan sayriah
Sesuai karakteristik laporan keuangan entitas syariah meliputi:
1. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan mencerminkan kegiatan komersial yang terdiri atas laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, serta laporan perubahan ekuitas.
Posisi keuangan
Unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset, kewajiban, dan syirkah temporer dan ekuitas. Pos-pos ini didefinisikan sebagai berikut:
  • Aset adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari pristiwa masa lau dan dari mana  manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas syariah.
  • Kewajiban merupakan utang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang mengandung manfaat ekonomi.
  • Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima sebagai investasi dengan jangka waktu tertentu dari individu dan pihak lainnya di mana entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian hasil investasi berdasarkan kesepakatan.
  • Ekuitas adalah hak resudual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana sirkah temporer. Ekuitas dapat disubklasifikasikan menjadi setoran modal pemegang saham, saldo laba, penyisihan saldo laba dan penyisihan penyesuaian pemilihan modal.
Kinerja
Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan bersih (laba) adalah penghasilan dan beban. Unsur penghasilan dan beban didefinisikan sebagai berikut ini.
  • Penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Penghasilan (income) meliputi pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gain).
  • Beban (expenses) dalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal, termasuk di dalamnya beban untuk pelaksanaan aktivitas syariah maupun kerugian yang timbul.
Hak pihak ketiga atas bagi hasil
Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syariah temporer adalah bagian hasil pemilik dana atas keuntungan dan kerugian hasil investasi bersama entitas syariah dalam suatu periode laporan keuangan. Hak pihak ketiga atas bagi hasil tidak bisa dikelompokkan sebagai beban (ketika untung) atau pendapatan (ketika rugi). Namun, hak pihak ketiga atas bagi hasil merupakan alokasi keuntungan dan kerugian kepada pemilik dana atas investasi yang dilakukan bersama dengan entitas syariah.
2. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial, meliputi laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana kebijakan.
3. Komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus entitas syariah tersebut.
B. Pengukuran Unsur Laporan Keuangan
Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Biaya historis (historical cost)
Aset dicatat sebesar pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan.  Kewajiban dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam keadaan tertentu (misalnya, pajak penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara kas) yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha yang normal. Dasar ini adalah dasar pengukuran yang lazim digunakan entitas syariah dalam penyusunan laporan keuangan.
2. Biaya kini (current cost)
Aset dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang harus dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang. Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yang tidak didiskontokan (undiscounted) yang mungkin akan dipergunakan untuk menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang.
3. Nilai realisasi/penyelesaian (realizable/settlement value)
Aset dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal (orderly disposal).

Minggu, 16 Desember 2012

Asumsi Dasar Dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Syariah Dalam PSAK


A.Asaumsi Dasar
Dasar akrual; Laporan keuangan disajikan atas dasar akrual, maksudnya bahwa pengaruh transaksi dan peristiwa laian diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas ataui setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akutansi serta laporan dalam laporan keuangan yang periode yang bersangkutan. Laporan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang mempresentasikan kas yang akan diterima di masa depan. Namun, dalam penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas. Hal ini disebabkan bahwa prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah keuntungan bruto (gross profit).
Kalangsungan usaha; Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah yang akan melanjutkan usahanya di masa depan. Oleh karena itu, entitas syariah diasumsikan tidak bermaksud atau keiungginan melikuidasi atau mengurangi secara material sekala usahanya. Jika maksud ataui keingginan tersebut timbul, laporan keuangan mungkin harus disusun dengan dasar yang berbeda dan dasar yang digunakan harus diungkapkan.
 
B.Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi dalam laporan keuangan berguna bagi pemakai. Terdapat terdapat empat karakteristik kualitatif pokok, yaitu:
1.Dapat dipahami; Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. Untuk maksud ini, pemakai diasumsikan untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar. Namun demikian, informasi yang kompleks yang seharuskan dimasukkan dalam laporan keuangan tidak dapat dikeluarkan hanya atas dasar pertimbangan bahwa informasi tersebut terlalu sulit untuk dapat dipahami oleh pemakai tertentu.
2.Relevan; Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaliuasi mereka di masa lalu. Relevan berarti juga harus berguna untuk peramalan dan penegasan atas transaksi yang berkaitan satu sama lain. Relevan juga di pengaruhi oleh hakikat dan tingkat materialitasnya. Materialitas ditentukan berdasarkan pengaruh kelalaian (ambang batas) terhadap keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan keuangan. Oleh karena itu, materialitas dipengaruhi oleh besarnya kesalahan dalam mencantumkan atau pencatatan.
3.Keadaan; Andal diartikan sebagai bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakaianya sebagai penyajian yang tulus atau jujur  dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Informasi mungkin relevan tapi jika hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan maka mengunakan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. Misalnya, jika keabsahan dan jumlah tuntutan atas kerugian dalam suatu tindakan hukum masih dipersengketakan, mungkin tidak tepat bagi entitas syariah untuk mengakui jumlah seluruh tuntutan tersebut dalam neraca, meskipun mungkin tepat untuk mengungkapkan jumlah serta keadaan dari tuntutan tersebut.
4.Dapat dibandingkan;  Pemakai harus dapat membandingkan laporan keuangan entisas syariah antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keungan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan keuangan antar entitas syariah untuk mengevaluasai posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karena itu, pembandingan berupa pengukuran dan penyajian dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan secara konsisten untuk entitas syariah tersebut, atar periode entitas syariah yang sama, untuk entitas syariah yang berbeda, maupun dengan entitas yang lain. Agar dapat dibandingkan, informasi tentang kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan dan perubahan kebijakan serta pengaruh perubahan tersebut juga harus diungkapkan termasuk ketaatan atas standar akutansi yang berlaku.

Jumat, 14 September 2012

Karakteristik Dan Tujuan Laporan Keuangan Transaksi Syaria Dalam PSAK


A. Kerakteristik Transaksi Syariah
Implementasai transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain:
  1. Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling faham dan saling rida.
  2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib)
  3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas.
  4. Tidak mengandung unsur riba.
  5. Tidak mengandung unsur kezaliman.
  6. Tidak mengandung unsur maysir.
  7. Tidak mengandung unsur gharar.
  8. Tidak mengandung unsur haram.
  9. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat  dalam kegiatan usaha terkaid dengan resiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk) .
  10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugiakan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi barsamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad.
  11. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar).
  12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap-menyuap (risywah).
Karakteristik tersebut dapat diterapkan pada transaksi bisnis yang bersifat komersial maupun yang bersifat non komersial.

B. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan keuangan laporan keuangan adala untuk menyediakan informasi, menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubaan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakaian dalam pengambilan keputusan ekonomi. Beberapa tujuan lain adalah:
  1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsisf syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.
  2. Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsif syariah, serta informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban  yang tidak sesuai dengan prinsif syariah bila ada dan bagaimna perolehan dan penggunaannya.
  3. Informasi untuk membantu evaluasi pemenuhan tanggung jawab  entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana, mengivestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak.
  4. Informasi mengenai tingkat keuntungan infestasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syariah temporer, dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban  (obligation) fungsi sosial entitas syariah termasuk pengolahan dan penyaluran zakat, infak, shadakah, dan wakaf
Laporan keuangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bersama sebagai pengguna laporan keuangan, serta dapat digunakan sebagai bentuk laporan dan pertanggungjawaban menejemen atas sumber dana yang dipercayakan kepadanya.

Rabu, 12 September 2012

Paradikma Dan Asas Transaksi Syariah dalam PSAK


Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syaraiah didasarkan pada paradikma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan sebagai manah (kepercayaan Ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahtraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah). Subtansinya adalah bahwa setiap aktifitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiyah yang menempatkan menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salah aktifitas usaha. Dengan cara ini, akan terbentuk integritas yang akhirnya akan membentuk karakter tata klola yang baik (good gavernance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.

Asas transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1.    Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awum), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan saling beraliansi (tahaluf).
2.    Keadilan (‘adalah), berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan posisinya. Realisasi prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adanya unsur:
  • Riba atau bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl. Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, atau transaksi antar barang, termasuk pertukaran uang jenis secara tunai maupun tangguh dan tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnya/posisinya.
  • Maysir/judi atau sikap sepekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitas.
  • Gharar atau unsur ketidak jelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksaan akad, seperti: ketidakpastian penyertaan objek akad, tidak ada kepastian kriteria kualitas, kuantitas, harga objek akad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti ini perjanjian.
  • Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
3.    Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur  yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4.    Keseimbanagan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5.    Universalisme (syumuliyah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai dengan semangat keramah tamahan semesta (rahmatan lil alamin)

Sabtu, 08 September 2012

Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (PSAK)


Tujuan Kerangka Dasar
  1. Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Kerangka ini berlaku untuk semua jenis transaksi syariah yang dilaporkan oleh entitas syariah maupun entitas konvensional baik sektor publik maupun sektor suasta. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:
  2. Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Penyusunan laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah.
  4. Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntassi syariah yang berlaku umum.
  5. Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.

Pemakai dan Kebutuhan Informasi laporan keuangan meliputi:
  1. Investor sekarang dan investor potensial; hal ini karena mereka harus mutuskan apakah akan membeli, nenahan atau menjual investasi atau penerimaan deviden.
  2. Pemilik dana qardh; untuk mengetahui apakah dana qardh dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
  3. Pemilik dana syariah temporer; untuk pengambilan keputusan pada investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang bersaing dan aman.
  4. Pemilik dana titipan; untuk memastikan bahwa titipan dana dapat diambil setiap saat.
  5. Pembayar dan penerima zakat, infak, dan wakaf; untuk informasi tentang sumber dan penyaluran dana tersebut.
  6. Pengawas syariah; untuk menilai kepatuhan pengelolaan lembaga syariah terhadap prinsip syariah.
  7. Karyawan; untuk memperoleh informasi tentang stabilitas dan protabilitas esensial syariah.
  8. Pemasok dan mitra usaha lainnya; untuk memperoleh informasi tentang kemampuan esensial membayar utang pada saat jatuh tempo.
  9. Pelangan; untuk memperoleh informasi tentang kelangsungan hidup entitas syariah.
  10. Pemerintah serta lembaga-lembaganya; untuk memperoleh informasi tentang aktivitas entitas syariah, perpajakan serta kepentingan nasional lainnya.
  11. Masyarakat; untuk memperoleh informasi tentang kontribusi entitas terhadapmasyarakat dan negara.

Rabu, 05 September 2012

Asas Transaksi Syariah

Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian oranglain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saaling menjamin (takaful), saling besinergi dan saling berafiliasi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan realitas prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adannya unsur:
  • Riba/bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl, Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi barang, termasuk penukaran yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponnya mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnnya/posisinya.
  • Maisir/ judi atau bersikap spekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitasnnya.
  • Ghahar/unsur ketidakjelasan, manipulsidan eksploitasi informasi serta tidak adannya kepastian pelaksanaan akad, seperti: ketidakpastian penyerahan objek aqad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti isi perjanjian.
  • Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-qur’an dan As-sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
Akuntansi syariah adalah teori yang menjelaskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Sehubungan dengan ini Shahata menjelaskan kemungkinan keeradaan akuntansi syariah sebagai berikut:
Postulat, Standart, penjelasan dan prinsip akuntansi yang menggambarkan semua hal..... karenanya secara teoritis akuntansi memiliki konsep, prinsip dan tujuan islam dan semua hal ini serentak berjalan bersama bidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, etika yang dimiliki islam, kehidupan islm dan keadilan, dan hukum islam. Dan islam adalah suatu program yang memiliki bidang ekonomi , sosial, politik, ideologi, manajmen, akuntansi, dan lain-lain. Semua hal ini adalah satu paket yang tak bisa dipisah.
3. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta individual dan kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor rill, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5. Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).

Selasa, 04 September 2012

Tujuan Laporan Keuangan Akuntansi Syariah

Sesuai dengan tujuan syari’ah yang berusaha untuk menciptakan maslahah terhadap seluruh aktivitas manusia tidak terkecuali dalam aktivitas ekonomi yang didalamnya juga melingkupi aktivitas akuntansi, maka akuntansi yang direfleksikan dalam laporan keuangan memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Harahap (1999:120) menyebutkan bahwa pemberian informasi akuntansi melalui laporan keuangan harus dapat menjamin kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan diantara pihak-pihak yang mempunyai hubungan ekonomi hal ini sejalan dengan pernyataan Harahap (2001:120) inti prinsip ekonomi syari’ah menurut Al-Qur’an adalah: keadilan, kerjasama, keseimbangan larangan melakukan transaksi apapun yang bertentangan dengan syari’ah, eksploitasi dan segala bentuk kedhaliman (penganiayaan). Secara tegas Triyuwono (2000:25) menyampaikan bahwa tujuan akhir akuntansi syari’ah [laporan keuangan] adalah untuk mengikat para individu pada suatu jaringan etika dalam rangka menciptakan realitas sosial (menjalankan bisnis) yang mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Tuhan, yang merupakan rangkaian dari tujuan syari’ah yaitu mencapai maslahah (Hidayat, 2002b:431).
Tujuan akuntansi syari’ah sangat luas, namun demikian penekanannya adalah pada upaya untuk merealisasikan tegaknya syari’ah dalam kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh manusia (Adnan, 1997, Triyowono, 2000 dalam Harahap, 2001:120). Selanjutnya Adnan (1996) untuk menspesifikkan tujuan akuntansi syari’ah membagi menjadi dua tingkatan yaitu 1) tingkatan ideal, dan 2) tingkatan pragmatis. Pada tataran ideal tujuan akuntansi syari’ah adalah sesuai dengan peran manusia dimuka bumi dan hakekat pemilik segalanya (QS, 2:30, 3:109, 5:17, 6:165), maka sudah semestinya yang menjadi tujuan ideal dari laporan keuangan adalah pertang-gungjawaban muamalah kepada Tuhan Sang Pemilik Hakiki, Allah swt. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu segalanya, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi perintah syari’ah. Dengan kata lain, akuntansi [laporan keuangan] terutama harus berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seseorang hamba atas perintah Tuhan. Tujuan pragmatis dari Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] diarahkan pada upaya menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan (Adnan, 1999:4 dalam As’udi dan Triyuwono, 2001:87).
Khan (1992) mengidentifikasi tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah, sebagai berikut:
  1. Penentuan laba-rugi yang tepat. Kehati-hatian harus dilaksanakan dalam menyiapkan laporan keuangan agar dapat mencapai hasil yang sesuai dengan syari’ah, dan konsisten dalam pemilihan metode yang digunakan sehingga dapat menjamin kepentingan semua pihak (pengguna laporan keuangan). Penentuan laba rugi yang tepat juga sangat urgen dalam rangka menghitung kewajiban zakat, bagi hasil, dan pembagian laba kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
  2. Meningkatkan dan menilai efisiensi kepemimpinan. Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakan-kebijakan yang sehat.
  3. Ketaatan pada hukum syari’ah. Setiap aktivitas yang dijalankan oleh entitas usaha harus dapat dinilai hukum halal-haramnya.
  4. Keterikatan pada keadilan. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama dari syari’ah adalah menciptakan maslahah, dan keadilan adalah bagian yang terpenting dalam mencapai maslahah, maka penegakan keadilan adalah mutlak adanya.
  5. Melaporkan dengan benar. Entitas usaha selain bertanggung jawab terhadap pemilik juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian berarti pula bahwa entitas usaha memiliki tanggung jawab sosial yang melekat. Informasi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.
  6. Adaptable terhadap perubahan. Peranan akuntansi yang sangat luas menuntut akuntansi agar peka terhadap tuntutan kebutuhan, agar akuntansi senantiasa dapat difungsikan oleh masyarakat sesuai tuntutan kebutuhannya.
Dalam merealisasikan tujuan Harahap (2001:120) membagi fungsi Akuntansi Syari’ah sebagai berikut: 1) untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, 2) untuk memberikan informasi, 3) untuk melakukan pencatatan, dan 4) untuk memberikan pertanggungjawaban.
Dalam pendekatan sumber-sumber fikih Islam dan riset ilmiah Akuntansi Syari’ah, Syahatah (2001:44) membagi tujuan Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] dalam 1) hifzul amwal (memelihara uang), para ahli tafsir menafsirkan  kata faktubuhu (QS,2:282) yang berarti “tuliskanlah” perintah tersebut adalah untuk menuliskan satuan uang (nilai dari harta), 2) bukti tertulis [pencatatan] ketika terjadi perselisihan, Ibnu Abidin dalam kitabnya al-amwal yang dikutip (Syahatah, 2001:46) si penjual, kasir, dan agen adalah dalil (hujjah yang dapat dijadikan bukti) menurut kebiasaan yang berlaku, diperkuat dengan firman Allah (2:282) “... [pencatatan itu] lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu ...”, 3) dapat membantu dalam pengambilan keputusan, salah satu fungsi pencatatan adalah menghilangkan keragu-raguan yang berarti pula bahwa dengan dasar catatan yang dapat dipercaya akan dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik, dan 4) menentukan besarnya peng-hasilan yang wajib dizakati,  pada periode awal akuntansi tujuan laporan keuangan lebih ditekankan pada pemenuhan kewajiban zakat.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan akuntansi syari’ah [laporan keuangan] yang memiliki dua titik tekan, tekanan ideal adalah pemenuhan kewajiban yang langsung berhubungan kepada Allah seperti pemenuhan kewajiban zakat, dan tekanan praktis adalah memperoleh informasi dari aktivitas usaha yang diperlukan oleh pemilik (stakeholder) dan tujuan penting lainnya adalah mewujudkan hubungan sosial yang harmonis tanpa sengketa dan perselisihan.
Karakteristik penting yang harus dimiliki oleh organisasi [syari’ah] dalam melaksanakan akuntansinya menurut Widodo dan Kustiawan (2001:28) adalah sebagai berikut:
  1. Ketaatan pada prinsip-prinsip dan ketentuan syari’ah Islam.
  2. Keterikatan pada keadilan.
  3. Menghasilkan pelaporan yang berkualitas (dapat dipahami, relevan, andal, keterbandingan, dapat diuji kebenarannya.
Menurut Hidayat (2002b:431) dalam bentuk konkritnya akuntansi syari’ah harus dapat menyajikan laporan keuangan yang berlandaskan pada keadilan, kejujuran, dan kebenaran sebagai bentuk pelaksanaan tanggungjawab kepada sesama manusia dan pelaksanaan perintah (kewajiban) dari Tuhan, sehingga dapat dijadikan dasar dalam memperhitungkan kewajiban zakat secara benar dalam tinjauan syari’ah, juga tidak menimbulkan kerugian pihak-pihak yang terkait dengan informasi laporan keuangan [akuntansi syari’ah]. Untuk mewujudkan hal ini keterikatan kepada syari’ah adalah hal yang utama walaupun disisi lain akuntansi syari’ah juga harus memenuhi Standar Akuntansi Syari’ah yang berlaku akan tetapi penekanan kebenaran bukan hanya sekedar memenuhi (tidak menyimpang) dari standar tetapi benar secara hakikat syari’ah (substantif).

Senin, 03 September 2012

Tujuan Akuntansi Syariah

Menurut Adnan (2005), tujuan akuntansi dapat dibuat dalam duatingkatan. Yang pertama adalah tingkatan ideal, dan yang kedua adalah tingkatan praktis. Pada tingkatan ideal maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang hakiki, Allah SWT. Di mana hal tersebut ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengankata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat karena merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya. Sedangkan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi.Menurut Syahatah, seperti yang dikutip oleh Kusmawati (2005), selain memiliki tujuan utamanya yakni media penghitungan zakat, tujuan akuntansi syariah dapat didampingi oleh tujuan-tujuan praktis yang tentu saja tidak bertentangan dengan syari’ah, diantaranya: memelihara harta; membantu dalam pengambilan keputusan; menentukan dan menghitung hak-hak mitra berserikat; menentukan imbalan, balasan, atau sanksi.

Minggu, 02 September 2012

Konsep Dasar Akuntansi Syariah

Konsep dasar disebut juga asumsi adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial dan hukum dimana akuntansi beroperasi. dimana diturunkan dari tujuan laporan keuangan berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui yang dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan, unit pengukuran dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dibahas di bawah ini :
  1. Entitas Bisnis (Business Entity / al-Widah al Iqtishadiyah)Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi. Syahatah menyebutkan sebagai kaidah indepedensi jaminan keuangan. Oleh karena itu seluruh transaksi hanya berhubungan dengan entitas perusahaan yang membatasi kepentingan para pemiliknya.
  2. Kesinambungan (going concern) Berdasarkan konsep ini, suatu entitas dianggap akan berjalan terus, apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di ala mini. Maka, seorang muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktivitas itu setelah dia meninggal. Mereka juga yakin harta yang diperoleh dari aktivitas kerjanya itu milik Allah, seperti firman ALLAH…” Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, dan nafkahkanlah sebgian harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..”. dan juga sabda Rosulullah “…Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkan secara sederhana serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya. Ali bin abi tholib juga pernah berkata, Berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akanhidup selama-lamanya, dan berusahalah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari. Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplay untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa penghitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau liquidasi suatu perusahaan.
  3. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the Monetery Unit)Postulat ini merupakan term yang dgunakn oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu term yang biaanya disebut “unit pengukuran (unit ofmeasure) atau ”unit moneter (monetary unit) seperti digunkan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengsahkannya atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai terhadap barang-barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan skaligus sebagai pusat harga. Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional- uang kertasdan logam-, rentan terhadap ketidakstabilan, mka satuan moneter yang memenuhi syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nili uang emas dan perak adalah senilai emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resistan terhadap efek inflasi. Pada zaman Rasulullah saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang. Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dlam suatu Negara yng tidak menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatukondisi darurat untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada solusi yang mampu mengatasinya. Namun demikian, penulis berharap akan ada usaha menuju perbaikan kea rah penerapan standar emaas dan perak ini secara bertahap.
  4. Periode akuntansi. Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dengan dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya.” Berdasarkan hadis ini, setiap Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk menentukan besarnya zakat yang harus ia bayarkan. Mengenai waktu pembayarannya, bila menggunakan kalender Hijriyah maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.

Jumat, 31 Agustus 2012

Perbedaan Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional


Perbedaan Akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional dari segi arti Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 : “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu” Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw : “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa. Akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dimana maksud dari surat ini adalah membahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah, dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability. Akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi. Dan dapat di simpulakn bahwa perbedaan antara akuntansi syari’ah dengan akuntansi konvensional menurut pengertian dari masing-masing akuntasi tersebut adalah : Akuntansi konvensional dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern atau konvensional sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal). Sedang kan Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adanya akuntansi tersebut di simpulkan dari sumber-sumber islam dan di situ adanya tanggung jawab dan Akuntansi Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT. 
Perbedaan Tujuan dan laporan keuangan Akuntansi Syariah dengan akuntansi konvensional. Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan: Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.( Tepatnya laporan, keuangan tidak dapat memiliki tujuan, hanya orang-orang yang menyebabkan pernyataan yang akan diproduksi dan siapa yang menggunakannya dapat memiliki tujuan.) Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan: What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ….( Apa yang sering disebut sebagai tujuan laporan keuangan benar-benar fungsi laporan keuangan ....) Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya. Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Akan tettapi bilamana kita berpijak pada prinsip akuntasi konvensional tujuan akuntansi tersebut adalah karena kita ketahui Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya akan mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Dimana paham kapitalisme tersebut lebih menekankan pada prinsip perolehan laba dan keuntungan yang lebih memihak kepada pemilik modal saja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang sebenarnya lebih memegang peranan penting daripada pemilik modal itu sendiri. Tujuan dari akuntansi dalam Islam/syari’ah adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban dan menegakkan keadilan dan kebenaran. Manfaatnya tentu sangat besar, yakni menjaga transaksi yang tercatat tersebut terekam dengan baik sehingga dikemudian hari dapat dilihat kembali dan dimanfaatkan informasinya, terutama pada transaksi-transaksi keuangan yang bersifat hutang-piuntang, bahkan Allah SWT menekankan pencatatan hutang-piutang, sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an Surah Al Baqarah ayat 282, Inti dari ayat tersebut adalah penegasan bagi siapa saja yang melakukan transaksi tidak secara tunai, hendaknya mencatat dan menyampaikannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan disertai saksi-saksi yang amanah. 
Tujuan dari akuntansi itu sendiri adalah: 
1. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (accountability
2. Sebagai dasar penentuan pendapatan (income determination
3. Digunakan sebagai informasi dalam pengambilan keputusan (based of statement
4. Sebagai alat bukti yang berguna dikemudian hari (a prooving) Akuntansi juga merupakan upaya untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena akuntansi memelihara catatan sebagai accountability dan menjamin keakuratannya. Dengan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa akuntansi dalam Islam tidaklah bebas nilai. Karena pengakan keadilan dan pertanggungjawaban sesuatu membutuhkan tatanan nilai-nilai kebaikan, hati nurani, kejujuran dan keyakinan kepada Yang Maha Kuasa atas diri pelaku akuntansi dan pihak-pihak lainnya yang melakukan transaksi. Dengan demikian, akuntansi secara menyeluruh sangat sejalan dengan Islam sebagai sebuah aturan dan pedoman bisnis dan ekonomi. Tentunya konsep akuntansi harus mengikuti aturan dasar Islam dalam bermuamalah dan bukan sebaliknya. 
Kemudian tentang perbedaan laporan ke uangan antara akuntansi syari’ah dengan akuntasi konvensional disebutkan bahwa Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan keuangan akuntansi konvensional adalah adalah: 
1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan. 
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba. 
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba. 
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban. 
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan. 
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya. Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya. Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas). Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler). Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free). Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll. Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional. Jadi tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani. Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan. 
Dan Berikut Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut: 
1. Laporan posisi keuangan 
2. Laporan laba rugi 
3. Laporan arus kas 
4. Laporan laba ditahan 
5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas 
6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial 
7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh Empat laporan pertama adalah unsur-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional. 
Perbedaan antara akuntansi syari’ah dengan akuntansi konvensional dari segi undang- undang yang digunakan. Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari : 
1. Al Quran, 
2. Sunah Nabwiyyah, 
3. Ijma (kespakatan para ulama),
4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, 
5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. 
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi; 
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; 
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal; 
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya); 
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; 
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan. 
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas; 
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang; 
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai; 
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko; 
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal; 
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis. Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya. Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89) Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah : 
1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, 
2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah, 
3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah, 
4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam, 
5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna’, 
6. PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,
7. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah. 
IAI sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan standar akuntansi keuangan dan audit bagi berbagai industri merupakan elemen penting dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia, dimana perekonomian syariah tidak dapat berjalan dan berkembang dengan baik tanpa adanya standar akuntansi keuangan yang baik. Standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan prinsip syariah sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodir perbedaan esensi antara operasional Syariah dengan praktek perbankan yang telah ada (konvensional). Untuk itulah maka pada tanggal 25 Juni 2003 telah ditandatangani nota kesepahaman antara Bank Indonesia dengan IAI dalam rangka kerjasama penyusunan berbagai standar akuntansi di bidang perbankan Syariah, termasuk pelaksanaan kerjasama riset dan pelatihan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kompetensi IAI. Sejak tahun 2001 telah dilakukan berbagai kerjasama penyusunan standar dan pedoman akuntansi untuk industri perbankan syariah termasuk penyelesaian panduan audit perbankan syariah, revisi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan revisi Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Dengan semakin pesatnya perkembangan industri perbankan syariah maka dinilai perlu untuk menyempurnakan standar akuntansi yang ada. Pada tahun 2006, IAI telah menyusun draft Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Draft ini diharapkan dapat ditetapkan menjadi standar pada tahun 2007. Dalam penyusunan standar akuntansi keuangan syariah, dilakukan IAI dengan bekerjasama dengan Bank Indonesia, DSN serta pelaku perbankan syariah dan dengan mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah internasional yaitu AAOIFI. Hal ini dimaksudkan agar standar yang digunakan selaras dengan standar akuntansi keuangan syariah internasional.