Minggu, 12 Desember 2010

Sistem Keuangan Syariah

A. Latar Belakang
Sistim keuangan syariah adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam
Seiring dengan terjadinya krisis global dalam sistem keuangan kapitalis, kini para ekonom Barat mulai mengadopsi sistem keuangan syariah. Banyak dari mereka yang melakukan kajian mendalam terhadap perekonomian yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariat Islam. Sistem yang bersumber dari ajaran Allah Swt ini terbukti tetap tangguh menghadapi hempasan serangan krisis bertubi-tubi, baik yang terjadi tahun 1998 maupun 2008 dan hingga kini, insya Allah sampai dunia kiamat.
B. Konsep Memelihara Harta Kekayaan
Memelihara harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah SWT.
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad), dan sebagainya.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS 62:10)1
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.2
Harta yang paling baik menurut Rasulullah, adalah yang diperoleh dari hasil kerja atau perniagaan, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis-hadis berikut:
“Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh oleh tangannya sendiri...” (HR. Bazzar At Thabrani)3
“Barang siapa membuka bagi dirinya satu pintu meminta-minta (yakni membiasakan diri meminta-minta meski belum benar-benar terpaksa) niscaya Allah akan membukakan baginya tujuh puluh pintu kemiskinan”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)4
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal-hal yang baik di jalan Allah SWT.
Menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak.5
C. Penggunaan dan Perindustrian Harta
Islam mengatur setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS 28:77)
Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, dalam pengunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun disis lain juga harus cerdas dalam mengunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.6
Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain:
1. Tidak boros dan tidak kikir
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS 7:31)
2. Memberikan infak dan shadaqah
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS 2:261)
3. Membayar zakat sesuai ketentuan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS 9:103)
4. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
5. Meringankan kesulitan orang berutang
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS 2:280)7
Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah muamalah. Kaidah fiqih dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang haram/dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semua (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS 45:13)
”Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya, dan apa yang haram ialah apa yang diharamkan Allah di dalam kitabNya; sedangkan apa yang didiamkan oleh Nya berarti dimaafkan (diperkenakan) untukmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majab)
Dapat disimpulkan bahwa hukum dasar muamalah adalah boleh, karena tidak mungkin Allah menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu diharamkan atau dilarang.8
D. Akad/kontrak
Karim mengelompokkan akad menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Akat tabarru’ (grotuitus contract), yaitu segala macam perjanjian yang menyangjut transaksi nibala (not for profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan
2. Akat tijarah/muawalah (compensantional contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk laba (for profit transaction). Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh, akat tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a. Natural uncertainty contract, adalah satu jenis kontrak transaksi yang secara alamiah mengandung ketidakpastian dalam memperoleh keuntungan. Contoh akad dalam kelompok ini adalah musyarakah, mudharabah, muzara’ah, musaqamah, dan mukhabarah.
b. Natural certainty contract, adalah satu jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatnya, baik dari segi jumlah dan waktu penyerahannya. Contohnya adalah murabahah, salam, istishna’, dan ijarah.9
Dalam akad harus memenuhi ketentuan rukun dan syarat sahnya suatu akad ada tiga yaitu:
1. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad. Pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat yaitu orang yang merdeka, mukalaf dan orang yang sehat akalnya.
2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan, objek mudharabah dan musyarakah adalah mudal dan kejasama, objek sewa menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan seterusnya.
3. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan mereka saling rida.10
E. Transaksi yang dilarang
Transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut:
1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan, narkoba, dan sebagainya.
”Sesungguhnya Allah mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka Allah sungguh Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.” (QS 16: 15)
”Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)11
2. Riba
Dalam Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang riba. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari QS 30:39, QS 4:160-161, QS 3:130 dan QS 2:278-280.12
Larangan riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam. Yahudi melarang pengambilan bunga (riba). Baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undand-undang Talmud. Dan dalam kalangan Kristiani dalam Kitab Perjanjian Baru dalam ayat Lukas 6:34-35 merupakan ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga (riba).13
3. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui pihak lain dan dapat terjadi di dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
”Dan janganlah kamu campur adukan kebenaran dan kebathilan, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.” (QS 2:42)
4. Perjudian
Transaksi penjudian adalah teransaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, atau media lainnya.
”Wahai orang-orang yang beriman, sesunguhnya minuman keras, berjudi, berkorban (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung. (QS 5:90)
5. Gharar/transaksi yang mengandung ketidakpastian
Gharar terjadi terdapat incomplete information, sehingga ada ketidak pastian antara duabelah pihak yang bertransaksi.
”Bagaimana pendapatmu jika Allah mencegah biji untuk menjadi buah, sedang salah seorang dari kamu menghalalkan (mengambil) harta saudarannya?” (HR. Bukhari)
6. Ikhtikar/penimbunan barang
Ikhtikar dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan melangkannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan ikhtikar orang dapat memperoleh keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain.
”Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. (HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
7. Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang (ihtikar), walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.
”Wahai Rasulullah saw, harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami. Rasulullah lalu menjawab: Allah yang sesungguhnya penentu harga, penahan, pembentang dan pemberi rizeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah, tak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus sunan)
8. Bai’an najsy/rekayasa permintaan
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, di mana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertari dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.
”Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli.” (HR. Tirmidzi)
9. Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak adilan sosial dan permasalahan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
”... dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim ...” (QS 2:188)

10. Ta’alluq/penjual bersyarat
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaidkan di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (suatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
11. Bai al inah/pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli
Misalnya, A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan pembayaran.
12. Jual beli dengan cara talaqqi al- rukban
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, di mana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidak tahuan mereka.
"Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR. Muslim)14
F. Prinsip Sistem Keungan Syariah
Prinsip-prinsip sistem keunagan Islam sebagaimana diatur melalui Al-Qur’an dan As-Sunah adalah sebagai berikut:
1. Pelarangan riba. Riba hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan yang merugikan peminjam bahkan mempersulit si peminjam.
2. Pemberian risiko. Hal ini konsekuensi logis dari pelanggaran riba yang menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedang melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak akan saling membantu untuk bersama-samamemperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan.
3. Tidak menganggap uang sebagai modal pontensial. Sistem keungan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.
4. Larangan melakukan kegiatan spekulatif. Hal ini sama dengan pelangaran untuk transaksi yang memiliki tingkat ketidak pastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki resiko yang sangat besar.
5. Kesucian kontrak. Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan.
6. Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela (antaraddim munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan untung bersama risiko (al ghunmu bi al ghurni).15
G. Instrumen Keungan Syariah
Instrumen keuangan syariah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:
- Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih, di mana pihak pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan di muka, sedang apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan atau kelalain oleh mudharib.
- Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara pemilik modal untuk mengabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedang kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
- Sukuk (obligasi syariah), merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
- Saham syariah produknya harus sesuai dengan syariah.
2. Akad jual beli/sewa menyewa yang merupakan jenis akat tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:
- Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
- Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang dijual belikan belum ada.
- Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan salam, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dolakukan di muka cicilan dalam beberapa kali (termin) atau ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
- Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapakan manfaat atas objek sewa yang disewakan.
3. Akad lainnya meliputi:
- Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
- Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menima titipan dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tersebut.
- Qardhul Hasan adalah pinjaman yang mempersyaratkan adanya imbalan, waktu pengambilan pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
- Al-Wakalah adalah jangka pemberian kuasa dari satu pihak kepihak yang lain.
- Kaflah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang atas suatu pihak atau pihak lain.
- Hiwalah adalah pengalian utang atau piutang dari pihak pertama (al-muhil) kepada pihak lain (al-muhal ’alaih) atas dasar saling mempercayai.
- Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan pinjaman aset.16
----------------
Refrensi

1 Sri Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta: Salemba Empat. 2008). hal. 66
2 Ismail Nawawi. Ekonomi Islam. (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. 2009). hal. 108
3 Sri Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta: Salemba Empat. 2008). hal. 66
4 Ismail Nawawi. Ekonomi Islam. (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. 2009). hal. 122
5 Sri Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta: Salemba Empat. 2008). hal. 67
6 Ibid
7 Ibid, hal. 67-69
8 Ibid, hal. 69
9 Ibid, hal. 70-71
10 Ibid, hal. 71-72
11 Ibid, hal. 72-73
12 Sofian Syafri Harahap. Akuntansi Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2001), hal. 121
13 Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gemi Insani. 2001), hal. 43-45
14 Sri Nurhayati dan Wasilah .Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta: Salemba Empat. 2008). hal.. 79-83
15 Ibid, hal. 83-85
16 Ibid, hal. 85-87

Senin, 06 Desember 2010

Perkembangan Akuntansi Syariah

A. Zaman Awal Perkembangan Islam
Pendeklarasian negara islam di Madinah (tahun 622 M atau bertepatan dengan tahun 1 H) didasari oleh konsep bahwa seluruh muslim adalah bersaudara tanpa memandang ras, suku, warna kulit dan golongan, sehingga seluruh kegiatan kenegaraan dilakukan secara bersama dan gotong-royong di kalangan para muslimin. Hal ini dimungkinkan karena negara yang baru saja berdiri tersebut hampir tidak memiliki pemasukan ataupun pengeluaran. Muhammad Rasulullah SAW bertindak sebagai seorang Kepala Negara yang juga merangkap sebagai Ketua Mahkamah Agung, Mufti Besar, dan Panglima Perang Tertinggi juga penanggung jawab administrasi negara. Bentuk sekretariat negara masih sangat sederhana dan baru didirikan pada akhir tahun ke 6 Hijriyah.
Telah menjadi tradisi bahwa bangsa Arab melakukan dua kali perjalanan kafilah perdagangan, yaitu musim dingin dengan tujuan perdagangan ke Yaman dan musim panas dengan tujuan ke Asy-Syam (sekarang Syria, Lebanon, Jordania, Palestina dan Esrael). Perdagangan tersebut pada akhirnya berkembang hingga ke Eropa terutama setelah penaklukan Mekah.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika ada kewajiban zakat dan ‘ushr (pajak pertanian dari muslim), dan perluasan wilayah sehingga dikenal adanya jizyah (pajak perlindungan dari non muslim) dan kharaj (pajak pertanian dari non muslim), maka Rasul mendirikan Baitul Maal pada awal abad ke-7. Konsep ini cukup maju pada zaman tersebut dimana seluruh penerimaan dikumpulkansecara terpisah dengan peminpin negara dan baru akan dikeluarkan untuk kepentingan negara. Walaupun disebutkan pengelolaan Baitul Maal masih sederhana, tetapi nabi telah menunjuk petugas qadi, ditambah para sekretaris dan pencatat administrasi pemerintahan. Mereka ini berjumlah 42 orang dan dibagi dalam empat bagian yaitu: sekretaris pernyataan, sekretaris hubungan dan pencatatan tanah, sekretaris perjanjian, dan sekretaris peperangan.
B. Zaman Empat Khalifah
Pada pemerintahan Abu Bakar, pengelolaan baitul maal masih sangat sederhana dimana penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara seimbang sehingga hampir tidak pernah ada sisa.
Perubahan sistem administrasi yang cukup signifikan dilakukan di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatthab dengan memperkenalkan istilah Diwan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas (636 M). Asal kata Diwan dari bahasa Arab yang merupakan bentuk kata benda dari kata Dawwana yang berarti penulisan. Diwan dapat diartikan sebagai tempat di mana pelaksana duduk, bekerja dan di mana akuntansi dicatat dan disimpan. Diwan ini berfungsi untuk mengurusi pembayaran gaji.
Khalifah Umar menunjuk beberapa orang pengelola dan pencatat dari Persia untuk mengawasi pembukuan baitul maal. Pendirian Diwan ini berasal dari usulan Homozon-seorang tahanan Persia dan menerima islam- dengan menjelaskan tentang sistem administrasi yang dilakukan oleh Raja Sanian (Siswanto, 2003). Ini terjadi setelah peperangan Al-Qadisiyyah-Persia dengan panglima perang Sa’ad bin Abi Waqqas yang juga sahabat nabi, Al-Walid bin Mughirah yang mengusulkan agar ada pencatatan untuk pemasukan dan pengeluaran negara.
Hal ini kembali menunjukkan bahwa akuntansi berkembang dari suatu lokasi ke lokasi lain sebagai akibat dari hubungan anatar masyarakat. Selain itu, baitul maal juga sudah tidak terpusat lagi di Madinah tatapi juga di daerah-daerah taklukan islam. Pada Diwan yang dibentuk oleh Khalifah Umar terdapat 14 departemen dan 17 kelompok, di mana pembagian departemen tersebut menunjukkan adanya pembagian tugas dalam sistem keuangan dan pelapora keuangan yang baik. Pada masa itu istilah awal pembukuan dikenal dengan jarridah atau menjadi istilah journal dalam bahasa inggris yang berarti berita. Di Venice istilah ini dikeal dengan sebutan zournal.
Fungsi akuntansi telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam islam seperti: Al-Amel, Mubashor, Al-Kateb, namun yang paling terkenal adalah Al-Kateb yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab untuk menuliskan dan mencatat informasi baik keuangan maupun non keuangan. Sedangkan untuk khusus akuntan dikenal juga dengan nama Muhasabah/Muhtasib yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab melakukan perhitungan.
Muhtasib adalah orang yang bertaggung jawab atas lembaga Al-Hisba. Muhtasib bisa juga menyangkut pengawasan pasar yang bertanggung jawab tidak hanya masalah ibadah. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Muhtasib adalah kewajiban publik. Muhtasib bertugas menjelaskan berbagai tindakan yang tidak pantas dalam berbagai kehidupan.
Muhtasib memiliki kekuasaan yang luas, termasuk pengawasan harta, kepentingan sosial, pelaksanaan ibadah pribadi, pemeriksaan transaksi bisnis. Akram Khan memberikan 3 kewajiban Muhtasib, yaitu:
1. Pelaksanaan hak Allahtermsuk kegiatan ibadah: shalat, pemeliharaan masjid
2. Pelaksanaan hak-hak Masyarakat: perilaku di pasar, kejujuran bisis
3. Pelaksanaan yang berkaitan dengan keduanya: menjaga kebersihan jalan dll.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa akuntansi islam adalah menyangkut semua aspek kehidupan yang lebih luas tidak hanya menyangkut praktek ekonomi dan bisnis sebagaimana dalam sistem kapitalis. Akuntansi islam sebenarnya lebih luas dari hanya perhitungan angka, informasi keuangan atau pertanggungjawaban. Dia menyangkut semua penegakan hukum sehingga tidak ada pelanggaran hukum baik hukum sipil maupun hukum yang berkaitan dengan ibadah.
Pengembangan lebih konprehensif mengenai baitul maal dilanjutkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan beliau, sistem administrasi baitul maal baik ditingkat pusat dan lokaltelah berjalan baik serta terjadi surplus pada pada baitul maal dan dibagikan secara proporsionalsesuai tuntutan Rasulullah. Adanya surplus ini menunjukkan bahwa proses pencatatan dan pelaporan telah berlangsung dengan baik.
REFRENSI

Sri Nurhayati dan Wasilah. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat, Hal. 54-56


Minggu, 05 Desember 2010

Dalil Akuntansi Dalam Al-Quran

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi buktdan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat A-Baqarah :282).
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktuyang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Dalam Al Quran juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dantimbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan danbertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah
Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Akuntansi Meta Rule
Menurut,Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi dalam Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.
Terakhir, marilah kita renungi firman Allah SWT berikut ini:
“…… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.16/ An-Nahl: 89)

Rabu, 01 Desember 2010

Sejarah, Pengertian dan Prinsip Akuntansi Syariah

A.Sejarah Lahirnya Akuntansi Syari’ah
Mengutip pandangan Vernon Kam, bahwa : dalam sejarahnya diketahui doublebook keeping munculdi Italia sejak abad ke-13. Maka dalam pernyataan Shehata adalah suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islam menyatakan bahwa akuntansi dalam islam bukanlah merupakan seni dan ilmu yang baru “ dapat di lihat dalam peradaban islam yang pertama sudah memiliki “Baitul Mal “ yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “BendaraNegara “ serta menjamin kesejahteraan social.sejak itu masyarakat muslim telah memiliki jenis akuntansiyang disebut “Kitabat al-Amwal”(pencatatan Uang) tulisan ini telah muncullam sebelum double entry detemukan oleh Lucas Pacioli di Italia pada tahun 1949. 
Ada beberapa faktor yang menuntut lahirnya double entry pada abad ke-13. factor tersebut adalah karena penyajian pada periode sebelumnya tidakselengkap dengan yang terjadi pada masa itu. Litleton mengakui bahwa double entry muncul kepermukaan karena waktu itu dapat dipenuhi persyaratanya , yaitu: persyaratan yang berkaitan dengan masalah “materi” dan “bahasa”
Adapun factor yang menyebabkan terjadinya percepatan perkembangan akuntansi hingga sekarang di antaranya adalah:
1.adnya motivasi awal yang memaksa orang untuk mendapatkan keuntungan besar.
2.pengakuan pengusaha akan pentingnya aspek social yang berkaitan dengan persoalan maksimalisasilaba.
3.bisnis di lakukan dengan peranan untuk mencapai laba sebagai alat untuk mencapai tujuan bukan akhir dari sebuah tujuan.
Pertumbuhan ekonomitidakselamanya memberikan jalan luru. Sehingga timbul adanya aggapan bahwa akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas darinilai (Value-free). Engan keadaan seperti ini semakin kuat masyarakat terbawah oleh arus era informasi dan globalisasi. Yang memiliki ciri utama adanya kencenderungan untuk melakukan harmonisasi sesuatu.
Kemudian sejak tahun 1980-an, mulai ada perhatian kuat dari para peneliti akuntansi dalam upaya memahami akuntansi dalam pengertian yang lebih luas. Misalnya dalam kontek social dan organisasi. Akuntansi secara tradisional telah di pahami sebagai prosedur rasional dalammenyediakan informasiyang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan pengendalian. 
Dalam pengertian tersebut menunjukan bahwa akuntansi tampak seperti teknologi yang kelihatan konkrit, tangible dan bebas dari nilai massyarakat dimana dipraktekan. Tricker secara tegas menyatakan, bahwa “(bentuk) akuntansi sebetulnya tergantung pada teknologi dan moral masyarakat. Akuntansi adalah anak budaya dari masyarakat.
B.Pengertian akuntansi
Beberapa definisi akuntansi :
Littleton mendefinisikan, tujuan utama dari akuntansi adalah untuk melaksanakn perhitungan periodic antara biaya (usaha) dan hasil (prestasi)suatuyang merupakan inti dari teori akuntansi yang merupakan ukuran sebagai rujukan dalam mempelajariakuntansi. 
APB (Accountng principle boartd ) Statement No. 4 akuntansi adalah suatukegiatan jasa yang berfungsi memberikan informasi kuantitatif, dalam ukuran uang, mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksudkan untuk pengambilan keputusan ekonomi, dalam memilih diantara beberapa alternative.
AICPA (American Institute ofcertified public accountant) “akuntansiadalah seni pencatatan, penggolongan, dan pengikhtisaran dengan cara tertentudan dalam ukuran moneter, transaksidan kejadian-kejadian yang umumnya bersifat keuangan dalam menafsirkan hasil-hasilnya.
Dalam buku A statement of Basic Accounting theory akuntansi adlah “proses mengidentifikasi mengukur, dan menyampaikan informasi dalam hal pertimbangan dalam mengambil kesimpulan para pemakai.
C.Prinsip Umum Akuntansi Syari’ah
Dalam sistem akuntansi terdapat nilai pertanggungjwaban, keadilan, dan kebenaran. Ketiganya menjadi prinsip dasar yang universal. Sedikit uraian ketiga prisip tersebut terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah:282.
D.Prinsip pertanggung jawaban
merupakan konsep yang tidak asing lagi yang berkaitan dengan konsep amanah.
a.Prinsip keadilan
Prinsip keadilan tidak hanya merupakan nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Berarti manusia memiliki kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupan. 
b.Prinsip kebenaran
Prinsip kebenaran tidak bias di pisahkan dari prinsip keadilan ,karena kebenaran dapat menciptakan keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.