Jumat, 14 September 2012

Karakteristik Dan Tujuan Laporan Keuangan Transaksi Syaria Dalam PSAK


A. Kerakteristik Transaksi Syariah
Implementasai transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain:
  1. Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling faham dan saling rida.
  2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib)
  3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas.
  4. Tidak mengandung unsur riba.
  5. Tidak mengandung unsur kezaliman.
  6. Tidak mengandung unsur maysir.
  7. Tidak mengandung unsur gharar.
  8. Tidak mengandung unsur haram.
  9. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat  dalam kegiatan usaha terkaid dengan resiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk) .
  10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugiakan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi barsamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad.
  11. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar).
  12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap-menyuap (risywah).
Karakteristik tersebut dapat diterapkan pada transaksi bisnis yang bersifat komersial maupun yang bersifat non komersial.

B. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan keuangan laporan keuangan adala untuk menyediakan informasi, menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubaan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakaian dalam pengambilan keputusan ekonomi. Beberapa tujuan lain adalah:
  1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsisf syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.
  2. Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsif syariah, serta informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban  yang tidak sesuai dengan prinsif syariah bila ada dan bagaimna perolehan dan penggunaannya.
  3. Informasi untuk membantu evaluasi pemenuhan tanggung jawab  entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana, mengivestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak.
  4. Informasi mengenai tingkat keuntungan infestasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syariah temporer, dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban  (obligation) fungsi sosial entitas syariah termasuk pengolahan dan penyaluran zakat, infak, shadakah, dan wakaf
Laporan keuangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bersama sebagai pengguna laporan keuangan, serta dapat digunakan sebagai bentuk laporan dan pertanggungjawaban menejemen atas sumber dana yang dipercayakan kepadanya.

Rabu, 12 September 2012

Paradikma Dan Asas Transaksi Syariah dalam PSAK


Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syaraiah didasarkan pada paradikma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan sebagai manah (kepercayaan Ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahtraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah). Subtansinya adalah bahwa setiap aktifitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiyah yang menempatkan menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salah aktifitas usaha. Dengan cara ini, akan terbentuk integritas yang akhirnya akan membentuk karakter tata klola yang baik (good gavernance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.

Asas transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1.    Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awum), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan saling beraliansi (tahaluf).
2.    Keadilan (‘adalah), berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan posisinya. Realisasi prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adanya unsur:
  • Riba atau bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl. Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, atau transaksi antar barang, termasuk pertukaran uang jenis secara tunai maupun tangguh dan tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnya/posisinya.
  • Maysir/judi atau sikap sepekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitas.
  • Gharar atau unsur ketidak jelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksaan akad, seperti: ketidakpastian penyertaan objek akad, tidak ada kepastian kriteria kualitas, kuantitas, harga objek akad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti ini perjanjian.
  • Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
3.    Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur  yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4.    Keseimbanagan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5.    Universalisme (syumuliyah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan sesuai dengan semangat keramah tamahan semesta (rahmatan lil alamin)

Sabtu, 08 September 2012

Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (PSAK)


Tujuan Kerangka Dasar
  1. Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Kerangka ini berlaku untuk semua jenis transaksi syariah yang dilaporkan oleh entitas syariah maupun entitas konvensional baik sektor publik maupun sektor suasta. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:
  2. Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Penyusunan laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah.
  4. Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntassi syariah yang berlaku umum.
  5. Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.

Pemakai dan Kebutuhan Informasi laporan keuangan meliputi:
  1. Investor sekarang dan investor potensial; hal ini karena mereka harus mutuskan apakah akan membeli, nenahan atau menjual investasi atau penerimaan deviden.
  2. Pemilik dana qardh; untuk mengetahui apakah dana qardh dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
  3. Pemilik dana syariah temporer; untuk pengambilan keputusan pada investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang bersaing dan aman.
  4. Pemilik dana titipan; untuk memastikan bahwa titipan dana dapat diambil setiap saat.
  5. Pembayar dan penerima zakat, infak, dan wakaf; untuk informasi tentang sumber dan penyaluran dana tersebut.
  6. Pengawas syariah; untuk menilai kepatuhan pengelolaan lembaga syariah terhadap prinsip syariah.
  7. Karyawan; untuk memperoleh informasi tentang stabilitas dan protabilitas esensial syariah.
  8. Pemasok dan mitra usaha lainnya; untuk memperoleh informasi tentang kemampuan esensial membayar utang pada saat jatuh tempo.
  9. Pelangan; untuk memperoleh informasi tentang kelangsungan hidup entitas syariah.
  10. Pemerintah serta lembaga-lembaganya; untuk memperoleh informasi tentang aktivitas entitas syariah, perpajakan serta kepentingan nasional lainnya.
  11. Masyarakat; untuk memperoleh informasi tentang kontribusi entitas terhadapmasyarakat dan negara.

Rabu, 05 September 2012

Asas Transaksi Syariah

Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian oranglain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saaling menjamin (takaful), saling besinergi dan saling berafiliasi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan realitas prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adannya unsur:
  • Riba/bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl, Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi barang, termasuk penukaran yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponnya mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnnya/posisinya.
  • Maisir/ judi atau bersikap spekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitasnnya.
  • Ghahar/unsur ketidakjelasan, manipulsidan eksploitasi informasi serta tidak adannya kepastian pelaksanaan akad, seperti: ketidakpastian penyerahan objek aqad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti isi perjanjian.
  • Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-qur’an dan As-sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
Akuntansi syariah adalah teori yang menjelaskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Sehubungan dengan ini Shahata menjelaskan kemungkinan keeradaan akuntansi syariah sebagai berikut:
Postulat, Standart, penjelasan dan prinsip akuntansi yang menggambarkan semua hal..... karenanya secara teoritis akuntansi memiliki konsep, prinsip dan tujuan islam dan semua hal ini serentak berjalan bersama bidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, etika yang dimiliki islam, kehidupan islm dan keadilan, dan hukum islam. Dan islam adalah suatu program yang memiliki bidang ekonomi , sosial, politik, ideologi, manajmen, akuntansi, dan lain-lain. Semua hal ini adalah satu paket yang tak bisa dipisah.
3. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta individual dan kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor rill, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5. Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).

Selasa, 04 September 2012

Tujuan Laporan Keuangan Akuntansi Syariah

Sesuai dengan tujuan syari’ah yang berusaha untuk menciptakan maslahah terhadap seluruh aktivitas manusia tidak terkecuali dalam aktivitas ekonomi yang didalamnya juga melingkupi aktivitas akuntansi, maka akuntansi yang direfleksikan dalam laporan keuangan memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Harahap (1999:120) menyebutkan bahwa pemberian informasi akuntansi melalui laporan keuangan harus dapat menjamin kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan diantara pihak-pihak yang mempunyai hubungan ekonomi hal ini sejalan dengan pernyataan Harahap (2001:120) inti prinsip ekonomi syari’ah menurut Al-Qur’an adalah: keadilan, kerjasama, keseimbangan larangan melakukan transaksi apapun yang bertentangan dengan syari’ah, eksploitasi dan segala bentuk kedhaliman (penganiayaan). Secara tegas Triyuwono (2000:25) menyampaikan bahwa tujuan akhir akuntansi syari’ah [laporan keuangan] adalah untuk mengikat para individu pada suatu jaringan etika dalam rangka menciptakan realitas sosial (menjalankan bisnis) yang mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Tuhan, yang merupakan rangkaian dari tujuan syari’ah yaitu mencapai maslahah (Hidayat, 2002b:431).
Tujuan akuntansi syari’ah sangat luas, namun demikian penekanannya adalah pada upaya untuk merealisasikan tegaknya syari’ah dalam kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh manusia (Adnan, 1997, Triyowono, 2000 dalam Harahap, 2001:120). Selanjutnya Adnan (1996) untuk menspesifikkan tujuan akuntansi syari’ah membagi menjadi dua tingkatan yaitu 1) tingkatan ideal, dan 2) tingkatan pragmatis. Pada tataran ideal tujuan akuntansi syari’ah adalah sesuai dengan peran manusia dimuka bumi dan hakekat pemilik segalanya (QS, 2:30, 3:109, 5:17, 6:165), maka sudah semestinya yang menjadi tujuan ideal dari laporan keuangan adalah pertang-gungjawaban muamalah kepada Tuhan Sang Pemilik Hakiki, Allah swt. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu segalanya, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi perintah syari’ah. Dengan kata lain, akuntansi [laporan keuangan] terutama harus berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seseorang hamba atas perintah Tuhan. Tujuan pragmatis dari Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] diarahkan pada upaya menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan (Adnan, 1999:4 dalam As’udi dan Triyuwono, 2001:87).
Khan (1992) mengidentifikasi tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah, sebagai berikut:
  1. Penentuan laba-rugi yang tepat. Kehati-hatian harus dilaksanakan dalam menyiapkan laporan keuangan agar dapat mencapai hasil yang sesuai dengan syari’ah, dan konsisten dalam pemilihan metode yang digunakan sehingga dapat menjamin kepentingan semua pihak (pengguna laporan keuangan). Penentuan laba rugi yang tepat juga sangat urgen dalam rangka menghitung kewajiban zakat, bagi hasil, dan pembagian laba kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
  2. Meningkatkan dan menilai efisiensi kepemimpinan. Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakan-kebijakan yang sehat.
  3. Ketaatan pada hukum syari’ah. Setiap aktivitas yang dijalankan oleh entitas usaha harus dapat dinilai hukum halal-haramnya.
  4. Keterikatan pada keadilan. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama dari syari’ah adalah menciptakan maslahah, dan keadilan adalah bagian yang terpenting dalam mencapai maslahah, maka penegakan keadilan adalah mutlak adanya.
  5. Melaporkan dengan benar. Entitas usaha selain bertanggung jawab terhadap pemilik juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian berarti pula bahwa entitas usaha memiliki tanggung jawab sosial yang melekat. Informasi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.
  6. Adaptable terhadap perubahan. Peranan akuntansi yang sangat luas menuntut akuntansi agar peka terhadap tuntutan kebutuhan, agar akuntansi senantiasa dapat difungsikan oleh masyarakat sesuai tuntutan kebutuhannya.
Dalam merealisasikan tujuan Harahap (2001:120) membagi fungsi Akuntansi Syari’ah sebagai berikut: 1) untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, 2) untuk memberikan informasi, 3) untuk melakukan pencatatan, dan 4) untuk memberikan pertanggungjawaban.
Dalam pendekatan sumber-sumber fikih Islam dan riset ilmiah Akuntansi Syari’ah, Syahatah (2001:44) membagi tujuan Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] dalam 1) hifzul amwal (memelihara uang), para ahli tafsir menafsirkan  kata faktubuhu (QS,2:282) yang berarti “tuliskanlah” perintah tersebut adalah untuk menuliskan satuan uang (nilai dari harta), 2) bukti tertulis [pencatatan] ketika terjadi perselisihan, Ibnu Abidin dalam kitabnya al-amwal yang dikutip (Syahatah, 2001:46) si penjual, kasir, dan agen adalah dalil (hujjah yang dapat dijadikan bukti) menurut kebiasaan yang berlaku, diperkuat dengan firman Allah (2:282) “... [pencatatan itu] lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu ...”, 3) dapat membantu dalam pengambilan keputusan, salah satu fungsi pencatatan adalah menghilangkan keragu-raguan yang berarti pula bahwa dengan dasar catatan yang dapat dipercaya akan dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik, dan 4) menentukan besarnya peng-hasilan yang wajib dizakati,  pada periode awal akuntansi tujuan laporan keuangan lebih ditekankan pada pemenuhan kewajiban zakat.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan akuntansi syari’ah [laporan keuangan] yang memiliki dua titik tekan, tekanan ideal adalah pemenuhan kewajiban yang langsung berhubungan kepada Allah seperti pemenuhan kewajiban zakat, dan tekanan praktis adalah memperoleh informasi dari aktivitas usaha yang diperlukan oleh pemilik (stakeholder) dan tujuan penting lainnya adalah mewujudkan hubungan sosial yang harmonis tanpa sengketa dan perselisihan.
Karakteristik penting yang harus dimiliki oleh organisasi [syari’ah] dalam melaksanakan akuntansinya menurut Widodo dan Kustiawan (2001:28) adalah sebagai berikut:
  1. Ketaatan pada prinsip-prinsip dan ketentuan syari’ah Islam.
  2. Keterikatan pada keadilan.
  3. Menghasilkan pelaporan yang berkualitas (dapat dipahami, relevan, andal, keterbandingan, dapat diuji kebenarannya.
Menurut Hidayat (2002b:431) dalam bentuk konkritnya akuntansi syari’ah harus dapat menyajikan laporan keuangan yang berlandaskan pada keadilan, kejujuran, dan kebenaran sebagai bentuk pelaksanaan tanggungjawab kepada sesama manusia dan pelaksanaan perintah (kewajiban) dari Tuhan, sehingga dapat dijadikan dasar dalam memperhitungkan kewajiban zakat secara benar dalam tinjauan syari’ah, juga tidak menimbulkan kerugian pihak-pihak yang terkait dengan informasi laporan keuangan [akuntansi syari’ah]. Untuk mewujudkan hal ini keterikatan kepada syari’ah adalah hal yang utama walaupun disisi lain akuntansi syari’ah juga harus memenuhi Standar Akuntansi Syari’ah yang berlaku akan tetapi penekanan kebenaran bukan hanya sekedar memenuhi (tidak menyimpang) dari standar tetapi benar secara hakikat syari’ah (substantif).

Senin, 03 September 2012

Tujuan Akuntansi Syariah

Menurut Adnan (2005), tujuan akuntansi dapat dibuat dalam duatingkatan. Yang pertama adalah tingkatan ideal, dan yang kedua adalah tingkatan praktis. Pada tingkatan ideal maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang hakiki, Allah SWT. Di mana hal tersebut ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengankata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat karena merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya. Sedangkan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi.Menurut Syahatah, seperti yang dikutip oleh Kusmawati (2005), selain memiliki tujuan utamanya yakni media penghitungan zakat, tujuan akuntansi syariah dapat didampingi oleh tujuan-tujuan praktis yang tentu saja tidak bertentangan dengan syari’ah, diantaranya: memelihara harta; membantu dalam pengambilan keputusan; menentukan dan menghitung hak-hak mitra berserikat; menentukan imbalan, balasan, atau sanksi.

Minggu, 02 September 2012

Konsep Dasar Akuntansi Syariah

Konsep dasar disebut juga asumsi adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial dan hukum dimana akuntansi beroperasi. dimana diturunkan dari tujuan laporan keuangan berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui yang dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan, unit pengukuran dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dibahas di bawah ini :
  1. Entitas Bisnis (Business Entity / al-Widah al Iqtishadiyah)Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi. Syahatah menyebutkan sebagai kaidah indepedensi jaminan keuangan. Oleh karena itu seluruh transaksi hanya berhubungan dengan entitas perusahaan yang membatasi kepentingan para pemiliknya.
  2. Kesinambungan (going concern) Berdasarkan konsep ini, suatu entitas dianggap akan berjalan terus, apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di ala mini. Maka, seorang muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktivitas itu setelah dia meninggal. Mereka juga yakin harta yang diperoleh dari aktivitas kerjanya itu milik Allah, seperti firman ALLAH…” Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, dan nafkahkanlah sebgian harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..”. dan juga sabda Rosulullah “…Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkan secara sederhana serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya. Ali bin abi tholib juga pernah berkata, Berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akanhidup selama-lamanya, dan berusahalah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari. Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplay untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa penghitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau liquidasi suatu perusahaan.
  3. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the Monetery Unit)Postulat ini merupakan term yang dgunakn oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu term yang biaanya disebut “unit pengukuran (unit ofmeasure) atau ”unit moneter (monetary unit) seperti digunkan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengsahkannya atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai terhadap barang-barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan skaligus sebagai pusat harga. Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional- uang kertasdan logam-, rentan terhadap ketidakstabilan, mka satuan moneter yang memenuhi syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nili uang emas dan perak adalah senilai emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resistan terhadap efek inflasi. Pada zaman Rasulullah saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang. Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dlam suatu Negara yng tidak menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatukondisi darurat untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada solusi yang mampu mengatasinya. Namun demikian, penulis berharap akan ada usaha menuju perbaikan kea rah penerapan standar emaas dan perak ini secara bertahap.
  4. Periode akuntansi. Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dengan dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya.” Berdasarkan hadis ini, setiap Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk menentukan besarnya zakat yang harus ia bayarkan. Mengenai waktu pembayarannya, bila menggunakan kalender Hijriyah maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.